PKMST Salatiga

Persekutuan Keluarga Mahasiswa Siswa Toraja Salatiga

Tabe' lako siulu'ku massola nasang ... Selamat datang di Blog na "Pia-Pia" Toraya inde Salatiga.
" Sipadiong Lisunna Pala . . . Sipolan Se'ponna Kalepak. "
Setia sekata , Saling menghormati dan Saling melindungi satu sama lain.



Para peserta prosesi "Mangarara Banua Tongkonan" Siguntu di Kampung Kedundung, Rante Pao, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, menyiapkan pikulan wadah babi yang akan dikorbankan dalam prosesi itu, Jumat (22/8). Prosesi "Mangarara Banua" digelar sebagai prosesi selamatan setelah perbaikan dan penggantian dinding serta atap Tongkonan Siguntu.Rantepao, Palulun Rantelangi memicingkan matanya, memeriksa ayam jago yang diikat di pagar kandang babi di pelataran Tongkonan Siguntu, Kampung Kedundung, Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Jumat (22/8) pagi. Ia mengamati dengan teliti bagian bawah sayap ayam jago, juga kaki ayam yang semalaman diikat itu.

Ia hendak memastikan si jago layak menjadi binatang korban prosesi ”Mangarara Banua”, ritual selamatan penggantian dinding dan atap tongkonan (rumah adat) itu. Setelah puas dengan pengamatannya, Rantelangi tersenyum lebar dan melepas si ayam jago. Sekilas ia melihat beberapa ekor babi di dalam kandang, lalu memandangi seekor kerbau yang juga diikat di pagar kandang babi itu. Kerbau itu masih belia dan belum pernah kawin, syarat kerbau yang bisa dikorbankan dalam prosesi ”Mangarara Banua”.

Rantelangi lalu berdiri dan berseru keras dalam bahasa Toraja, meminta semua orang bersiap memulai prosesi meski tanah masih basah oleh embun. Sesuai tradisi, prosesi ”Mangarara Banua” harus selesai sebelum tengah hari.

Hal itu berbeda dengan upacara pemakaman yang lebih dulu dikenal masyarakat luar Toraja, yaitu ”Rambu Solo’”. Sebagai prosesi kematian, ”Rambu Solo’” baru bisa dimulai selepas tengah hari, mengiringi perjalanan matahari terbenam dan menjemput gelapnya malam.

Adapun ”Mangarara Banua” tergolong ritual ”Rambu Tuka’”, yaitu ritual kegembiraan yang dilakukan dengan menyambut kehangatan mentari pagi. ”Mangarara Banua” juga belum setenar ”Rambu Solo’”. Prosesi pemakaman jenazah yang megah dan biasanya berlangsung 13 hari itu telah lama jadi daya tarik pariwisata Tana Toraja.
Puluhan ribu wisatawan tersedot ke Tana Toraja tiap tahun untuk mengunjungi makam jenazah para tetua dalam goa di atas tebing curam atau menengok jenazah yang disemayamkan beberapa tahun di tongkonan sambil menunggu dana terkumpul untuk menyelenggarakan ”Rambu Solo’”. Jika beruntung, mereka bisa menyaksikan upacara ”Rambu Solo’”.

Sebagai prosesi kegembiraan, keselamatan, yang penuh dengan tawa bahagia, ”Rambu Tuka’” berlawanan dalam segala hal dengan ”Rambu Solo’”.

Dalam prosesi ”Rambu Tuka’” tak ada tarian ”Ma’badong” yang biasa ditarikan para tamu yang menghadiri pemakaman dengan berdiri melingkar dan saling berpegangan tangan. Dalam ”Rambu Tuka’”, para tamu menarikan ”Mansadong” yang juga dilakukan dengan berdiri melingkar dan saling berpegangan tangan. Syair yang dilantunkan lebih mengentak, berirama cepat, dan memancarkan kegembiraan.

Ritual ”Rambu Tuka’” dilakukan di sebelah timur tongkonan, arah terbit matahari. Sementara itu, ritual ”Rambu Solo’” dilakukan di sebelah barat rumah, arah tenggelam matahari.

Dalam ”Rambu Solo’”, puluhan hingga ratusan ekor kerbau ditebas parang tajam para patinggoro tedong alias tukang jagal. Dalam ”Mangarara Banua”, hanya seekor kerbau yang boleh dikorbankan.

”Kerbau itu pun tidak boleh langsung ditebas, harus ditombak dahulu. Kerbau yang dikorbankan harus kerbau yang masih suci, yaitu belum pernah kawin,” kata salah satu pewaris Tongkonan Siguntu, Tarra Sampetoding.

Langka

”Mangarara Banua” termasuk prosesi ”Rambu Tuka’” yang langka karena hanya dilakukan untuk selamatan tongkonan yang baru diganti atap bambu atau dindingnya.

”Penggantian atap sebuah tongkonan biasanya dilakukan 40 tahun sekali, sesuai umur bambu yang disusun sebagai atap tongkonan yang bersangkutan, sedangkan penggantian dinding tongkonan biasanya dilakukan 100 tahun sekali. Kami baru saja mengganti seluruh dinding berukir tongkonan. Proses penggantian itu berlangsung enam bulan. Dinding berukir dipesan dari Randan Batu di wilayah Kesu, Tana Toraja,” ujar Sampetoding.

Toraja memiliki banyak prosesi keselamatan. Selain ”Mangarara Banua”, ada prosesi selamatan kelahiran (”Aluk Ma’lolo”), keberhasilan panen (”Aluk Tanaman”).

”Mangarara Banua” adalah ritual terpenting, karena tongkonan menjadi pusat kehidupan orang Toraja. Mulai dari urusan pemerintahan adat, perekonomian, hingga urusan memelihara silaturahim kekerabatan dilaksanakan di tongkonan. Kekerabatan, lebih-lebih status sosial seseorang, tidak hanya ditelusuri dari nama marga, tetapi juga dari tongkonan mana ia berasal.

”Tongkonan Siguntu adalah tongkonan yang dibuat Tongdiseru, suami dari Tikee Rante. Tongkonan itu sudah diwariskan selama enam generasi kepada kami, anak cucu Tongdiseru dan Tikee Rante,” kata Sampetoding.

Ia menuturkan, keluarga Tongkonan Siguntu adalah salah satu keluarga yang dituakan dalam struktur masyarakat adat Toraja, karena dalam darah keluarga itu mengalir darah Puang Ri Kesu sekaligus darah Puang Tamboro Langi. Puang Ri Kesu adalah pembawa ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitung Ratu Pitung Pulo Pitu, atau ajaran 7777. Sementara itu Puang Tamboro Langi adalah pembawa ajaran Aluk Sanda Saratu’ atau aturan 100.

Tingginya kedudukan Tongkonan Siguntu dalam tatanan adat Toraja membawa kemegahan bagi pesta ”Mangarara Banua” Tongkonan Siguntu. Puluhan ekor babi dikirim dari berbagai kampung dan satuan masyarakat adat Toraja demi menghormati Mengarara Banua Tongkonan Siguntu. Pekikan tawa kegembiraan khas Toraja pun membahana, mengiringi para tamu yang menarikan Mansadong.

Para wisatawan asing yang datang pun tidak kecewa meski tidak mendapati syair kesedihan ”Rambu Solo’” yang mistis, adu kerbau yang riuh, ataupun pesona bentangan panjang kain merah yang memayungi keluarga yang berduka. Karena, ”Mangarara Banua” melarutkan mereka dalam kegembiraan keluarga besar Tongkonan Siguntu. (Aryo Wisaggeni Genthong-kcm)

Sumber :http://makassarkota.go.id

2 komentar:

Anonymous said...

Kurang paham.....

Anonymous said...

Slamat atas terbentuknya pengurus baru PKMST,semoga pelayanan dalam perekutuan kita semakin baik sehingga persekutuan kita semakain erat antara satu dengan yang lain


Mengomentari tulisan ini,

Saya sangat tertarik dengan hal semacam ini karena memang kebudayaan toraja apalagi mengenai Rambu Solo' nya sekan - akan tak pernah lepas dan tak pernah habis untuk di bicarakan.

Toraja dimata para wisatawan ato teman - teman kampus saya (yang tahu tentang toraja) adalah sebuah wilayah yang terletak di pegunungan Sulawesi Selatan,dan ternyata yang membuat mereka biSa tahu akan Toraja adalah upacara adatnya yang menurut mereka unik,gila,dan aneh.Mereka sampai - sapai berdecak kagum ketika saya mencoba menceritakan ritual - ritual yang saya tahu dalam hal UPACARA RAMBU Solo'.Mungkin dalam benak mereka,orang Toraja ini memang aneh kok orang meninggal diupacarakan sampai segitu,pemborosan banget.

Pendapat teman saya mungkin bila dilihat dari sisi ekonomi memang betul.Bayangkan saja minimal orang Toraja dalam sekali mengadakan UPACARA ADAT Rambu Solo' bisa menghabiskan puluhan juta rupiah hanya dalam waktu kurang lebih sminggu.Apakah itu bukan pemborosan.

Tetapi saya tidk ingin membhas dari segi ekonomi maklum saya tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi jadi pengetahuan kuarng sekali.Saya lebih cenderung ingin melihat dari segi budayanya,biasalah saya besar dan oranng toraja tulen jadi mungkin lebih baik kalau melihat dari sisi ini.

Saya berpendapat kalau budaya Toraja adalah salah satu aset penting dari Toraja,karena aset inilah yang membuat Toraja menjadi unik.Tetapi kalu berpendapat mengenai pergesaran makna atau pergeseran perilaku terhadapa budaya ini,saya sangat setuju untuk di hilangkan pergeseran itu.Alangkah baiknya kalau kita kembali ke ketentuan awal yaitu melihat strata yang terdapat dalam budaya kita.Fungsinya adalah agar orang Toraja tidak sembarangan melakukan tatanan Upacara ini.Contohnya dalam hal pemotongan kerbau,kalau memang stratanya hanya boleh memotong satu kerbau ya potonglah satu saja gk peduli dia punya uang satu gudang atau punya uang bermilliar - milliar.Apalagi kalau ritual upacara tersebut di gunakan untuk menunjukkan persaingan dan menegaskan status sosialnya.Saya pikir ini adalah masalah besar,kok budaya sampai di jadikan ajang untuk adu gengsi.

Kalau ada pendapata bahwa sebaiknya melakukan transformasi seperti memberikan uang untuk upacara adat untuk di bagikan ke masyarakat secara tunai,saya melihat ini agak keliru masalahnya kenapa,sekali lagi budaya kita (yang belum mengalami pergeseran) adalah hal yang membuat kita unik,takutnya nanti kalau mengalami transformasi seperti itu tidak menutup kemungkinan nilai historis dan filosofis dari budaya kita akan lambat laun hilang di generasi Toraya yang berikutnya dan berikutnya.Apalagi kalau generasi Toraya yang tidak pernah mendapat wejangan cerita Budaya Toraya yang sebenarnya dari orang tua mereka.Usul saya kalau memang ingin melakukan hal tersebut tetap lakukan ritual sesuai dengan tatanan tetapi nanti hewan yang ingin di kurbankan alangkah baiknya kalau ada yang sisihkan misalnya untuk pembangunan desa,gereja,dan lain2 yang berkaitan dengan masyarakat Toraya.

Adalagi hal yang saya kurang spendapat,yaitu kalau gereja melarang upacara itu karena dianggap pemujaan terhadap dewa - dewa.Menurut saya hal ini tidak boleh di lakukan karena sama saja agama egois terhadap sebuah budaya leluhur.Kasihan nenk moyang kita yang sudah capek - capek membuat budaya yang sangat unik eh...tiba - tiba di hilangkan begitu saja oleh karena sebuah agama.

Mungkiin seperti itulah pendapat saya.Maaf kalau salah,keliru,kampungan,dangkal dan sebagainya.

Terima kasih

Salama'.

Post a Comment